Maaf
Tapi mungkin kejujuran tidak ada di label seorang Bulan, ya? Aku memendam rasaku selalu jauh di dalam, bahkan ketika rasa itu begitu menggebu ketika bersamamu, Matahari. Ya, kadang Tuhan memang mempermainkan hatiku, tapi selalu aku menjadikannya kembali menjadi milikmu, hanya kamu, Matahari. Aku menjaga jarak dengan semua lelaki. Menjaga pandang, bahkan perkataan. Aku membuang jauh hal-hal yang kadang membuat hatiku bergetar oleh seseorang. Aku ingin hatiku suci hanya untuk kamu, Matahari.
Kali ini aku membuat kesalahan fatal. Aku pikir aku cukup memendamnya. Biasanya aku tak mudah tergetar oleh lelaki mana pun. Semenjak beberapa tahun yang lalu, sebelum kau menggetarkannya, Matahari. Hingga ini sedikit bergetar, tapi hanya getaran kecil. Kupikir cukup menyimpannya, tak kukatakan padamu, hingga getaran perlahan sirna. Memang seperti itu halnya rasa. Muncul pun bukan karena harap kita.
Aku tidak bercakap secara intens dengannya, hanya sesekali. Dan tidak ada lelaki lain lagi, karena memang aku jarang mengobrol apabila tidak ada tujuan dariku. Ternyata sesekali itu kadang begitu menenangkan. Aku tak gegabah, Sayang. Aku memintanya untuk tidak berkirim pesan suara, dengan begitu rasa ini tak semakin tumbuh. Dan ya, rasa ini tak tumbuh lebih jauh lagi selebih rasa asyik karena obrolan, tak lebih.
Kesalahan fatalku di sini adalah kau mengetahui itu. Mungkin kau jadi memandang dari persepsi yang berbeda hingga kesalahpahaman terjadi. Sungguh, aku tak membuka sedikit pun celah hatiku agar dimasuki lelaki lain. Aku menjaga hatiku sepenuhnya kepadamu. Toh aku tahu, getar-getar seperti itu tak kan bertahan lebih dari satu bulan.
Maaf
La Luna
I'm anonymous, but you can call me "Vi"
Jumat, 07 Agustus 2015
Selasa, 21 Oktober 2014
Something that was irritated me so deeply
Hari ini aku menceritakan semua mimpiku. Semua hal yang ingin kuraih setelah aku menyelesaikan skripsiku - yang bahkan belum dimulai -. Aku terhenyak seketika. Kau bilang aku berlebihan. Aku tersenyum getir menahan tangisku di perjalanan, dan kupilih diam. Yeah, aku mengutarakan banyak hal, ingin ke London yang paling utama. Dan ternyata dalam kamusmu, mimpi itu berbatas. Atau mungkin memang begitu kiranya hal yang berlaku secara umum, mimpi itu berbatas. Secara gamblangnya dikatakan itu khayalan, impossible!, mungkin seperti itu maksudmu, jangan berkhayal.
Aku masih tersinggung dan memikirkan hal itu hingga malam aku menulis ini. Dulu kau juga sempat mengajakku ikut survey, memaksaku lebih tepatnya, karena aku benar-benar sudah ingin menjalankan job apapun, ingin rehat. Dan cukup terdiam aku dengan jawabanmu saat itu, "koe ora kerjo survey yo skripsimu ra rampung we kok". Wow, you know, aku seperti sedang berbicara dengan seorang bossy yang seenaknya merendahkan orang lain. Bahkan detik itu aku merasa, kau menganggapku sebagai bawahanmu, bukan partner kerja, atau pendamping hidupmu, it's irritated me, deeply....
Apa aku salah jika berpikir kau mulai picik dengan contoh dua hal yang kau lakukan di atas? Kenapa aku harus membatasi mimpiku? Toh, mimpi itu hanyalah sebuah harapan. Harapan bisa diwujudkan jika realitanya memungkinkan. Jika pun tidak, harapan itu bisa menjadi motivasimu untuk maju. Kenapa aku harus menghalangi langkahku untuk menjelajah seluas mungkin? I was crying till now , who really are you?
Aku tahu kau cerdas. Seringkali kau melogikakan, atau istilahmu menganalisa segala hal, termasuk agama, Tuhan, tapi aku pikir kau mulai sedikit melampaui kodratmu. Kau angkuh, seakan daya pikirmu mampu memecahkan segala pertanyaan. Tapi tidak, Sayang, sungguh jangan terjebak dengan analisa artifisial menggunakan isi kepalamu, karena ilmu yang sesungguhnya kita temukan ketika kita menggunakan hati.
Aku mencintaimu, Sayang, sungguh. Bukan maksud menulis ini untuk memutuskan hubungan kita, tidak sama sekali. Apalagi kau bilang sedang tak ingin mendengarkan ceramah dengan teori apapun dariku. Aku hanya ingin mengingatkan, bukan menggurui karena jelas aku tak sepintar dan secerdas kau. Maaf jika aku melampaui batasku sebagai kekasihmu.
Ini surat terbuka yang kutulis untukmu, Sayang. Ketika kau membacanya, mungkin kau akan marah dan tersinggung dengan sikapku. Tapi sungguh, Sayang, aku ingin menulis ini karena aku menginginkan hubungan ini hingga seterusnya.
Salam
Aku masih tersinggung dan memikirkan hal itu hingga malam aku menulis ini. Dulu kau juga sempat mengajakku ikut survey, memaksaku lebih tepatnya, karena aku benar-benar sudah ingin menjalankan job apapun, ingin rehat. Dan cukup terdiam aku dengan jawabanmu saat itu, "koe ora kerjo survey yo skripsimu ra rampung we kok". Wow, you know, aku seperti sedang berbicara dengan seorang bossy yang seenaknya merendahkan orang lain. Bahkan detik itu aku merasa, kau menganggapku sebagai bawahanmu, bukan partner kerja, atau pendamping hidupmu, it's irritated me, deeply....
Apa aku salah jika berpikir kau mulai picik dengan contoh dua hal yang kau lakukan di atas? Kenapa aku harus membatasi mimpiku? Toh, mimpi itu hanyalah sebuah harapan. Harapan bisa diwujudkan jika realitanya memungkinkan. Jika pun tidak, harapan itu bisa menjadi motivasimu untuk maju. Kenapa aku harus menghalangi langkahku untuk menjelajah seluas mungkin? I was crying till now , who really are you?
Aku tahu kau cerdas. Seringkali kau melogikakan, atau istilahmu menganalisa segala hal, termasuk agama, Tuhan, tapi aku pikir kau mulai sedikit melampaui kodratmu. Kau angkuh, seakan daya pikirmu mampu memecahkan segala pertanyaan. Tapi tidak, Sayang, sungguh jangan terjebak dengan analisa artifisial menggunakan isi kepalamu, karena ilmu yang sesungguhnya kita temukan ketika kita menggunakan hati.
Aku mencintaimu, Sayang, sungguh. Bukan maksud menulis ini untuk memutuskan hubungan kita, tidak sama sekali. Apalagi kau bilang sedang tak ingin mendengarkan ceramah dengan teori apapun dariku. Aku hanya ingin mengingatkan, bukan menggurui karena jelas aku tak sepintar dan secerdas kau. Maaf jika aku melampaui batasku sebagai kekasihmu.
Ini surat terbuka yang kutulis untukmu, Sayang. Ketika kau membacanya, mungkin kau akan marah dan tersinggung dengan sikapku. Tapi sungguh, Sayang, aku ingin menulis ini karena aku menginginkan hubungan ini hingga seterusnya.
Salam
Minggu, 12 Oktober 2014
Zero
I'm a coward
I was criying loudly like baby
I give up
I was afraid to fall
So, I never try
I didn't know who really I'm anymore
I lose all of my confident
I lose my soul
Who am I for sure?
Oh, Dear
Hit me
Punch me
Kick me
I won't get down
'Cause now, I'm invisible
Nobody can see me, nobody can feel me
I don't have an existence
I was criying loudly like baby
I give up
I was afraid to fall
So, I never try
I didn't know who really I'm anymore
I lose all of my confident
I lose my soul
Who am I for sure?
Oh, Dear
Hit me
Punch me
Kick me
I won't get down
'Cause now, I'm invisible
Nobody can see me, nobody can feel me
I don't have an existence
Selasa, 07 Oktober 2014
Aku mohon, berlarilah
Kali ini aku mohon, berlarilah. Sejauh yang yang bisa capai, berlarilah! Aku ingin kau kejar mimpi-mimpimu. Berdirilah di atas kedua kakimu, kau harus mandiri, kau harus menegaskan kedudukanmu sebagai lelaki.
Bukannya aku tak cinta, sungguh aku cinta, aku sayang. Tapi kau mulai terlalu manja, Sayang. Semua urusanku terbengkalai. Aku harus mengejar waktu yang telah jauh melewatkanku. Aku rindu pada Tuhanku, sungguh. Aku lelah, Sayang, lelah. Aku ingin dipelukNya. Aku ingin hangatNya lagi seperti dulu.
Sungguh, aku tak ingin kehilanganmu. Tapi aku butuh waktu untukku sendiri. Biarkan aku mengejar mimpiku. Menyandang toga di kepalaku. Sayang, aku mohon jangan marah, jangan down karena perkataanku ini. Aku masih ingin bersamamu, Sayang. Tapi aku mohon, segeralah berlari. Biarkan kita tetap sejalan dalam genggaman menuju mimpi kita. Aku akan menyusulmu segera bulan Desember nanti.
Bukannya aku tak cinta, sungguh aku cinta, aku sayang. Tapi kau mulai terlalu manja, Sayang. Semua urusanku terbengkalai. Aku harus mengejar waktu yang telah jauh melewatkanku. Aku rindu pada Tuhanku, sungguh. Aku lelah, Sayang, lelah. Aku ingin dipelukNya. Aku ingin hangatNya lagi seperti dulu.
Sungguh, aku tak ingin kehilanganmu. Tapi aku butuh waktu untukku sendiri. Biarkan aku mengejar mimpiku. Menyandang toga di kepalaku. Sayang, aku mohon jangan marah, jangan down karena perkataanku ini. Aku masih ingin bersamamu, Sayang. Tapi aku mohon, segeralah berlari. Biarkan kita tetap sejalan dalam genggaman menuju mimpi kita. Aku akan menyusulmu segera bulan Desember nanti.
Jumat, 03 Oktober 2014
Numb
Aku bukan air yang membuat api seketika padam. Aku bongkahan es, yang hanya membuat kabut ketika ditaburkan di atas api. Pada dasarnya aku beku, mati rasa.
Aku lebih sering menumpahkan air mata palsu untuk melindungi eksistensiku sebagai manusia. Menangis adalah sebuah "keharusan" bagi manusia dalam situasi tertentu. Sedang aku, ketika semua panik, takut, sedih, aku kebingungan mengorek emosi dari dalam diriku. Hasilnya, nihil! I'm numb.
Aku sering belajar menekan perasaanku setenang mungkin. Bahkan aku belajar menikmati setiap luka batin yang kudapat. Bagiku, luka itu nikmat, seperti tersayat, itu nikmat. Aku tahu, aku menjadi orang tak waras dengan pemikiran ini. Ah, tapi tenang saja, aku hanya menjadi seperti ini di saat tertentu, atau banyak saat tertentu.
Seseorang pernah bertenya ketika aku menerima kembali pertemanan dari orang di masa laluku begitu saja. Harusnya aku jijik setengah mati kepadanya setelah kejadian dulu. Tapi, ya, aku bahkan tak merasakan apapun. Berita bagusnya, dia seperti tanpa eksistensi, ada atau tidak aku tak peduli, toh hanya basa-basi. Jika aku masih terus membenci, bukankah sama artinya aku masih sakit hati, sama juga aku menganggap eksistensinya berarti di hidupku, atau mungkin malah sakit hati tanda masih cinta, aku tak ingin membayangkannya.Dengan alasan itu pula, aku tak suka membenci seseorang, let it be, begitulah. Jiwa apatisku semakin menakutkan.
Entah mengapa aku menulis ini. Ah, aku belajar mati rasa untuk mensakralkan esensi dari rasa itu sendiri. Bagiku, sebuah rasa itu istimewa. Bagiku, tak ingin ada kepura-puraan. Intinya, aku memakai separuh hati separuh logika. Jadi apa yang kurasakan bisa kau lihat dari apa yang kulakukan.
Aku lebih sering menumpahkan air mata palsu untuk melindungi eksistensiku sebagai manusia. Menangis adalah sebuah "keharusan" bagi manusia dalam situasi tertentu. Sedang aku, ketika semua panik, takut, sedih, aku kebingungan mengorek emosi dari dalam diriku. Hasilnya, nihil! I'm numb.
Aku sering belajar menekan perasaanku setenang mungkin. Bahkan aku belajar menikmati setiap luka batin yang kudapat. Bagiku, luka itu nikmat, seperti tersayat, itu nikmat. Aku tahu, aku menjadi orang tak waras dengan pemikiran ini. Ah, tapi tenang saja, aku hanya menjadi seperti ini di saat tertentu, atau banyak saat tertentu.
Seseorang pernah bertenya ketika aku menerima kembali pertemanan dari orang di masa laluku begitu saja. Harusnya aku jijik setengah mati kepadanya setelah kejadian dulu. Tapi, ya, aku bahkan tak merasakan apapun. Berita bagusnya, dia seperti tanpa eksistensi, ada atau tidak aku tak peduli, toh hanya basa-basi. Jika aku masih terus membenci, bukankah sama artinya aku masih sakit hati, sama juga aku menganggap eksistensinya berarti di hidupku, atau mungkin malah sakit hati tanda masih cinta, aku tak ingin membayangkannya.Dengan alasan itu pula, aku tak suka membenci seseorang, let it be, begitulah. Jiwa apatisku semakin menakutkan.
Entah mengapa aku menulis ini. Ah, aku belajar mati rasa untuk mensakralkan esensi dari rasa itu sendiri. Bagiku, sebuah rasa itu istimewa. Bagiku, tak ingin ada kepura-puraan. Intinya, aku memakai separuh hati separuh logika. Jadi apa yang kurasakan bisa kau lihat dari apa yang kulakukan.
Rabu, 24 September 2014
Amoeba
Gue sedang di masa yang bener-bener membuat logika gue ancur. Stuck in uncomfort zone, sumprit demi demit, gue nggak nyaman mau ngapa-ngapain. Gue pengen marah-marah penuh amarah, tapi siapa yang mau disalahin. Tiap hari rasanya dikejar-kejar setan, waktu!
Sumber semua ketidaknyamanan ini, tidak lain tidak bukan, my sweetest SKRIPSI. Ah, bayang pun, tiap hari gue lihat postingan dari web, FB, semua bahas "you know what?" - SKRIPSI! Damn, gue bisa gila! I dunno what to do! Enough! I quit!
Aaaaaahhhh......gue pengen jadi amoeba. Pengen ngilang. Tapi ntar balik lagi. Cuma pengen ngilang bentar aja, jadi amoeba, temenan ma paramecium atau hydra, terserah yang penting ngilang. Boleh nggak?
Sumber semua ketidaknyamanan ini, tidak lain tidak bukan, my sweetest SKRIPSI. Ah, bayang pun, tiap hari gue lihat postingan dari web, FB, semua bahas "you know what?" - SKRIPSI! Damn, gue bisa gila! I dunno what to do! Enough! I quit!
Aaaaaahhhh......gue pengen jadi amoeba. Pengen ngilang. Tapi ntar balik lagi. Cuma pengen ngilang bentar aja, jadi amoeba, temenan ma paramecium atau hydra, terserah yang penting ngilang. Boleh nggak?
Selasa, 11 Maret 2014
With you...
Masa rendezvouz berakhir. I mean, a new path was come, okay fasten your seatbelts, dude!
Ada hal yang masih belum bisa kusentuh darimu. Kau menggenggamnya begitu kuat, bahkan hingga melukaimu. Aku tak akan memaksa membukanya. Aku hanya menunggu, mungkin nanti kau membukanya secara sukarela.
Aku tahu, di balik kata "lupa", tersimpan bom waktu which accidentally exploded by time. Aku takut jika ledakan itu mengenaimu. Maaf jika terkadang aku over protective, really sorry. Yang ingin kulakukan saat ini adalah menggenggam tanganmu. Setidaknya jika bom itu meledak sewaktu-waktu, aku sedikit bisa meredam kekuatannya.
Jujur, aku juga takut, bahkan terkadang rasa takut itu membuatku gemetar. Tapi, kau lebih takut tentunya. Aku tak bisa membiarkan egoku untuk memaksamu "sembuh" dan malah berbalik membuatmu semakin terluka. Maafkan caraku yang lancang dulu.
Sayang, aku ingin menjadi lebih kuat. Tidak, tidak, bukannya karena aku ingin melindungimu, tidak. Karena aku tak ingin sok kuat. Aku belum cukup mampu melindungimu. Aku ingin menjadi kuat agar nanti aku tidak menambah membebanimu di saat apapun, terutama saat kau terlalu rapuh.
Sayang, genggam tanganku sampai nanti agar kita bisa berbagi hangat, saling menguatkan. Aku tunggu saat kau benar-benar mampu menjadi imamku, dan jadikanlah aku makmum yang taat kepadamu dan Rabbku.Selama kita menghadapi semua bersama, aku yakin semua bisa teratasi dengan izin Tuhan. Jangan takut, jangan sedih, jangan khawatir, Allah senantiasa bersama kita....
Ada hal yang masih belum bisa kusentuh darimu. Kau menggenggamnya begitu kuat, bahkan hingga melukaimu. Aku tak akan memaksa membukanya. Aku hanya menunggu, mungkin nanti kau membukanya secara sukarela.
Aku tahu, di balik kata "lupa", tersimpan bom waktu which accidentally exploded by time. Aku takut jika ledakan itu mengenaimu. Maaf jika terkadang aku over protective, really sorry. Yang ingin kulakukan saat ini adalah menggenggam tanganmu. Setidaknya jika bom itu meledak sewaktu-waktu, aku sedikit bisa meredam kekuatannya.
Jujur, aku juga takut, bahkan terkadang rasa takut itu membuatku gemetar. Tapi, kau lebih takut tentunya. Aku tak bisa membiarkan egoku untuk memaksamu "sembuh" dan malah berbalik membuatmu semakin terluka. Maafkan caraku yang lancang dulu.
Sayang, aku ingin menjadi lebih kuat. Tidak, tidak, bukannya karena aku ingin melindungimu, tidak. Karena aku tak ingin sok kuat. Aku belum cukup mampu melindungimu. Aku ingin menjadi kuat agar nanti aku tidak menambah membebanimu di saat apapun, terutama saat kau terlalu rapuh.
Sayang, genggam tanganku sampai nanti agar kita bisa berbagi hangat, saling menguatkan. Aku tunggu saat kau benar-benar mampu menjadi imamku, dan jadikanlah aku makmum yang taat kepadamu dan Rabbku.Selama kita menghadapi semua bersama, aku yakin semua bisa teratasi dengan izin Tuhan. Jangan takut, jangan sedih, jangan khawatir, Allah senantiasa bersama kita....
Langganan:
Postingan (Atom)